Jumat, Juli 25, 2008

Belajar Dari Anak Kecil

Belum lama ini saya mencoba membantu anak perempuan saya belajar naik sepeda roda dua. Usianya belum 6 tahun, tapi katanya udah kepingin kayak anak besar naik sepeda roda dua. Lalu saya melepas kedua roda kecil di kiri-kanan sepedanya, maka pelajaran pun dimulai.

Sambil memegangi sepedanya saya mengajarkan caranya menjaga keseimbangan. Setelah berjalan kira-kira 5 meter, saya mencoba melepas sepedanya dan ... gubraaak ... dia jatuh, walau tidak terluka. Tapi dia langsung bangkit dan mencoba lagi. Jatuh lagi, bangkit lagi, mencoba lagi. Begitu terus tapi tetap tidak ada kemajuan. Setelah 2 jam pinggang saya mulai sakit karena membungkuk terus, saya menyerah dan memutuskan untuk memasang kembali kedua roda kecilnya. Mungkin dia masih terlalu kecil, belum waktunya pakai roda dua.

Selang dua hari kemudian dia merengek minta belajar lagi. Wah, bakal sakit pinggang lagi ini. Tapi karena sayang anak ya saya ikuti saja permintaannya. Belajar bersepeda dimulai lagi. Sudah lama mencoba tetap tidak ada kemajuan. Pinggang mulai sakit lagi, dan diapun udah mengeluh lehernya pegal (mungkin karena tegang terus menjaga keseimbangan). Saya menawarkan untuk istirahat tapi dia tetap ingin mencoba terus. Kebetulan beberapa hari lagi saya harus berangkat kerja ke luar kota selama 2 minggu. Katanya dia harus bisa naik sepeda sebelum saya berangkat. Sayangnya sampai hari itu berakhir masih belum ada kemajuan.

Hari berikutnya kami mencoba lagi dan tetap nggak ada hasil. Dia pun bertanya: "Pa, bisa nggak ya aku naik sepeda sebelum papa berangkat?" Dalam hati saya sudah ingin menjawab nggak mungkin. Tapi karena nggak tega saya berkata:"Pasti bisa! Coba aja terus dan jangan lupa berdoa". Eh... malah saya yang berdoa dalam hati: "Tuhan, jangan buat gadis kecilku ini kecewa." Lalu kami mencoba lagi, tapi tetap belum ada kemajuan. Karena capek saya pun istirahat dulu, apalagi dari tadi dia juga udah mengeluh lehernya pegal. Tapi belum 5 menit saya duduk, dia sudah mencoba-coba lagi sendirian. Saya mengamati saja. Karena hari mulai gelap dia saya mengajaknya masuk ke rumah. Dalam hati saya merasa kasihan karena masih belum ada tanda-tanda dia bakal bisa.

Besoknya dia minta belajar lagi. Karena masih ada sedikit kerjaan saya bilang agar dia belajar sendiri saja dulu, nanti saya segera menyusul. Setengah jam kemudian saya keluar rumah dan tercengang! Dia bisa jalan sendiri walaupun setiap 10-15 meter pasti harus berhenti. Semangat saya pun muncul lagi, mungkin ini jawaban Tuhan, kali ini dia pasti berhasil. Lalu saya mendampingi dia agar bisa bersepeda lebih jauh lagi. Dan tanpa terasa kami sudah keliling-keliling perumahan beberapa kali, saya berlari dan dia bersepeda roda dua! Puji Tuhan!

Ada beberapa hal yang saya pelajari dari pengalaman:

  • Kita harus mengusahakan segala sesuatu dengan sepenuh hati.
  • Saat kita berusaha tetapi gagal (jatuh), itu adalah hal biasa. Segeralah bangun dan mencoba lagi.
  • Saat kita ragu, serahkanlah semua keraguan kita pada Tuhan. Karena segala sesuatu yang dikerjakan bersama Tuhan pasti berhasil.
  • Sering kita tidak tahu kapan kita bisa mencapai keberhasilan, terkadang tidak ada tanda-tandanya. Tapi disitulah ujiannya, bila kita percaya maka Tuhan yang akan berkarya atas kita pada waktu-Nya.
dan yang terakhir:
  • Ternyata ngajarin anak itu harus luar biasa sabar ya...

Baca lanjutannya ...

Minggu, Juli 06, 2008

Asuransi = Tidak Beriman?

Baru-baru ini saya mempelajari mengenai boleh tidaknya kita sebagai orang percaya, anak Tuhan, membeli asuransi. Luar biasa karena saya menemukan banyak sekali artikel yang membahasnya. Dan lebih luar biasa lagi karena ada pendapat yang mengatakan asuransi sesuai dengan Firman Tuhan, tapi ada juga yang menyatakan bahwa asuransi adalah alat iblis untuk menjauhkan manusia dari Tuhan. Kedua pendapat tersebut sama-sama menggunakan Firman Tuhan sebagai dasarnya. Lalu mana yang benar?

Terus terang saya bukan ahli theologia, itu sebabnya saya mencari referensi dengan membaca buku dan artikel, sayangnya apa yang saya dapat malah semakin membuat saya bingung. Tapi dengan segala keterbatasan saya, saya mencoba merenungkan apa kira-kira kehendak Tuhan.

Misalkan rumah kita berada di pinggir jalan raya. Lalu anak kita yang masih kecil sedang bermain didekat pintu gerbang yang masih terbuka. Apa yang akan kita lakukan? Berdoa agar Tuhan menjauhkan anak kita dari kecelakaan atau menutup gerbangnya agar dia tidak keluar ke jalan raya? Kalau kita memilih yang pertama, maka lebih baik Tuhan tidak mengaruniakan tangan dan kaki kepada kita. Tuhan juga sudah mengaruniakan kita berkat sehingga mampu membuat pagar di depan rumah, kenapa tidak dimanfaatkan? Kalau kita menutup pintu gerbang, apakah berarti kita tidak percaya Tuhan?

Begitu juga dengan asuransi. Membeli asuransi sama dengan menutup pagar tersebut. Kita bukan tidak percaya kepada Tuhan, tapi kita harus sadar bahwa Tuhan juga memberi kita karunia untuk melengkapi diri kita dengan berbagai hal yang dapat membuat hidup kita menjadi lebih baik. Bukan hanya untuk diri sendiri, kita juga diberi karunia untuk menjadi berkat bagi orang lain, apalagi keluarga sendiri.

Firman Tuhan mengatakan bahwa pencobaan-pencobaan yang kita terima tidak akan melebihi kekuatan kita. Itu berarti bahwa batasnya adalah kekuatan kita! Sudah menjadi kewajiban kita sebagai manusia untuk bekerja dan mengusahakan segala sesuatu sampai dibatas kekuatan kita. Tapi kita tetap harus percaya bahwa bila kita sudah tidak mampu, masih ada Tuhan yang siap mengulurkan tangan-Nya untuk mengangkat kita dari masalah sebesar apapun.

Bagaimana kalau kita tidak mampu membeli asuransi? Kembali ke pernyataan sebelumnya, kita hanya wajib berusaha sampai batas kekuatan kita. Kalau sudah tidak mampu, jangan kuatir, karena Tuhan tahu batas kemampuan kita, dan Dia akan melengkapinya dengan cara yang mungkin tidak pernah kita bayangkan.

Saya mengutip satu artikel menarik mengenai asuransi yang saya tuliskan kembali di blog saya lain (lihat My Other Blogs di sebelah kanan halaman ini).

Baca lanjutannya ...

Kenapa Firman Tuhan Bisa "Bertentangan"?

Sering kita dengar dua orang pengacara berdebat untuk membela klien-nya masing-masing. Sedemikian panasnya perdebatan itu sampai kita lupa bahwa sebenarnya mereka menggunakan undang-undang yang sama di dalam sistem hukum yang juga sama. Sebagian ahli hukum mengatakan bahwa hal itu wajar saja, karena undang-undang kan dibuat oleh manusia, pasti tidak akan pernah sempurna.

Permasalahannya adalah bagaimana kalau itu adalah perdebatan rohani? Dalam hal ini yang dijadikan narasumber adalah Alkitab, kitab suci yang kita percayai adalah sebagai Firman Tuhan yang bersumber dari Tuhan sendiri. Kenapa bisa ada pendapat yang bertentangan padahal keduanya mampu menunjukkan ayat-ayat dalam Injil sebagai pendukungnya?

Hal ini terpikirkan oleh saya karena belum lama ini saya mencoba mempelajari beberapa referensi mengenai boleh atau tidaknya orang Kristen ikut asuransi. Saya menemukan beberapa artikel yang mengatakan bahwa asuransi itu diperbolehkan, tapi ada juga yang mengatakan bahwa asuransi itu adalah dosa, masing-masing mengutip ayat-ayat dalam Firman Tuhan untuk membenarkannya. Malah ada yang mengatakan bahwa asuransi itu adalah alat iblis untuk membuat manusia meninggalkan perlindungan Tuhan (saya akan membuat posting mengenai ini).

Lalu kenapa Firman Tuhan itu bisa "bertentangan".

Hal pertama yang terpikirkan oleh saya adalah fakta bahwa Alkitab yang kita pegang adalah terjemahan, bahkan mungkin sudah diterjemahkan beberapa kali. Tentu kita percaya bahwa Tuhan juga turut bekerja dalam proses penterjemahan tersebut, namun tetap saja manusia adalah manusia yang diciptakan Tuhan dengan akal budi dan perasaan sendiri. Bahasa yang digunakan juga adalah bahasa buatan manusia.

Hal lain yang mungkin mempengaruhi adalah biasanya kita tidak tahu latar belakang pada saat Firman Tuhan itu dibuat. Banyak juga yang berusaha mempelajarinya (dan ini sangat berguna), tapi orang tidak akan bisa mengerti 100% hanya dengan mendengar cerita orang ataupun dengan membaca literatur. Untuk benar-benar mengerti kita harus berada di waktu dan lokasi yang sama.

Hal lain yang juga sangat penting untuk disadari adalah manusia dikarunia talenta yang berbeda-beda. Dalam hal mengartikan Firman Tuhan pun masing-masing orang dapat dipengaruhi oleh cara berpikir, emosi, minat, bahkan keyakinannya (sering kita sudah menentukan sikap dulu baru mencari referensi).

Pencipta lagu tidak pernah salah menciptakan lagu. Karena memang lagu itu dibuat sesuai keinginannya. Kemudian lagu tersebut dinyanyikan oleh seorang penyanyi terbaik. Walaupun sebelumnya sudah mendapat penjelasan dari si pencipta, tapi pasti ada sebagian penjiwaan lagu tersebut yang tidak sesuai dengan keinginan penciptanya. Lalu kita mendengarkan lagu tersebut, ada yang bisa menikmati, ada yang tidak mengerti, ada yang merasa mengerti, ada yang tidak peduli.

Mungkin masih banyak penyebab yang lain yang bisa dijelaskan oleh orang yang lebih ahli dalam hal ini.

Lalu bagaimana seharusnya sikap kita dalam hal ini? Yang pertama kita harus percaya bahwa kebenaran Firman Tuhan itu adalah mutlak. Bukan relatif, dan bukan juga "agak benar" (kalau diberi nilai antara 1-100 maka Firman Tuhan itu adalah 100). Yang bisa salah adalah kita, ciptaan Tuhan yang mempunyai keterbatasan. Kembali ke soal lagu di atas, kalau misalkan ada dua orang yang merasa mengerti maksud si pencipta tapi setelah ditanyakan ternyata mereka mempunyai pendapat berbeda mengenai arti lagu itu, apa yang seharusnya mereka lakukan? Menanyakan ke orang lain? Boleh-boleh saja, tapi bisa saja mereka malah mendapatkan jawaban yang berbeda lagi. Kalau mau jawaban yang pasti maka mereka harus menanyakan ke penciptanya.

Jadi kalau kita sudah mencari kebenaran Firman Tuhan tapi masih belum mendapatkan jawaban, maka jalan satu-satunya yang harus kita lakukan adalah datang kepada-Nya, berdoa meminta jawaban. Klise? Coba lakukan dengan sungguh-sungguh!

Baca lanjutannya ...

Jumat, Juli 04, 2008

Hari Minggu Datang Lagi

Hari Minggu datang lagi. Mau bangun rasanya masih malas, habis semalam ngobrol di rumah teman sampai jam 12. Apalagi cuaca pagi ini agak mendung. Ntarlah satu jam lagi aja.

Udah jam 7:30, kayaknya udah harus bangun nih. Sarapan, mandi, lalu berpakaian. Ceritanya siap-siap mau pergi ke gereja. Sekarang udah jam 8:15 santai dulu ah, toh anak-anak juga masih asyik bermain. Ibadah dimulai jam 8:30, pastilah kali ini terlambat! Biar ajalah, kasihan juga istri, dan pembantu masih sibuk: nyiapin cemilan buat anak, baju ganti (maklum anak masih kecil), ngunci pintu rumah, dll.

Jam 8:30 udah mulai jengkel, lalu mulai marah-marah ayo dong! Ini udah jam berapa? Masak kita terlambat lagi? Stresss ……

Akhirnya semua siap tapi jelas sudah terlambat. Di jalan ngebut, klakson bunyi terus, anak ribut dikit dimarahin, istri ngomong juga dimarahin.

Nyampe juga di gereja. Dengan hati jengkel setengah berlari masuk ke gereja. Lagu penyembahan sudah lewat, sekarang masuk ke lagu pujian. Lagunya gembira, tapi karena hati udah keburu jengkel, rasanya udah nggak berminat nyanyi lagi. Berdiri aja sambil ngelihatin orang-orang. Itu worship leader kok liriknya salah ya? Lagu ini juga beat-nya harusnya rada lambat. Itu pemain tambourine juga kayak belum hapal gerakannya, kok ngelihat temannya melulu.

Ya udah, pujian selesai. Waktunya memberi persembahan. Astaga...! Duit didompet kosong, tadi malam kan dipake buat beli sepatu. Yah, namanya juga buru-buru, harusnya tadi mampir di ATM dulu. Untung di kantong ada duit ribuan. Daripada nggak ada, nggak apalah ngasih sedikit, kan nggak ada juga yang lihat.

Sekarang waktunya khotbah. Ya ampun, pendetanya yang ini lagi. Kalau dia yang khotbah rasanya bosan, bikin ngantuk aja! Pendetanya minta jemaat untuk membaca secara bergantian, ah nyebelin. Saya kan paling malas bawa Alkitab. Lagian kenapa sih pake baca Alkitab sama-sama gitu? Kan malah jadi nggak jelas kedengarannya. Lirik kiri kanan, semuanya pegang Alkitab. Yang duduk di samping mau minjamin Alkitab, tapi belagak nggak butuh: “Nggak usah Pak, saya dengerin aja”. Setelah selesai, mulailah pendetanya khotbah. Benar kan kotbahnya membosankan. Udah nggak bermutu, panjang lagi. Rasanya udah pengen pulang aja, tapi entar dulu ah … masih ada satu persembahan lagi. Nggak enak dilihat orang kalau pulang sebelum persembahan.

Selesai doa persembahan, jemaat mulai berdiri untuk menyanyikan pujian terakhir dan doa berkat. Tapi kalau nanti pulang pas selesai doa berkat, pasti jadi ikutan ngantri di pintu. Mendingan pulang sekarang ajalah, mumpung masih sepi. Lalu langsung ngeloyor keluar. Ah lega … akhirnya kewajiban gereja minggu ini sudah terpenuhi. Sekarang bisa lanjut cari makan.

Habis makan nggak sengaja ketemu orang-orang yang baru pulang gereja. Dengan senyum ceria dia berkata, "Hai udah disini ya. Tadi di gereja duduk di depan saya kan? Tadi ibadahnya istimewa ya? Roh Kudus benar-benar terasa hadir di tengah-tengah kita. Selamat hari Minggu ya …. Tuhan memberkati."

Sayapun bengong. Kami kan gereja di tempat yang sama. Rasanya dari awal sampai akhir nggak ada satupun yang beres, kok bisa-bisanya dia merasa begitu terberkati. Akhirnya saya jadi malu sendiri, karena baru saja mengabaikan berkat dari Tuhan. Semua terjadi karena saya tidak mempersiapkan hari ini, khusus buat Tuhan.



Dirangkum dari: hasil diskusi, baca artikel, nanya-nanya, dan ... pengalaman sendiri. Tuhan memberkati!

Baca lanjutannya ...